Ketika Imajinasi Visual Menjadi Ajang Rebutan Digital

Baru diluncurkan, fitur image generator terbaru dari ChatGPT langsung mengguncang dunia digital. Hanya dalam satu jam setelah dirilis, fitur ini sukses menggaet lebih dari satu juta pengguna. Bukan tanpa alasan, fenomena ini mencerminkan betapa besarnya rasa penasaran dan kecemasan digital—alias FOMO (Fear of Missing Out)—yang kini makin merajalela. Ketika teknologi AI tak hanya bisa menjawab pertanyaan tapi juga melukis imajinasi dalam bentuk gambar, wajar jika semua orang ingin jadi yang pertama mencobanya.

Fitur image generator ini memungkinkan pengguna membuat ilustrasi dengan hanya mengetikkan deskripsi teks. Tidak perlu keahlian desain atau software rumit, hanya ide sederhana bisa langsung diwujudkan menjadi visual menawan dalam hitungan detik. Dari ilustrasi bergaya Studio Ghibli hingga konsep futuristik ala cyberpunk, semua dapat diramu dalam satu klik. Tak heran jika linimasa media sosial langsung dibanjiri dengan hasil karya buatan AI. Seketika, internet berubah menjadi galeri seni digital yang bergerak cepat.

Namun, euforia ini membawa dampak psikologis yang menarik untuk ditelaah. Menurut Dr. Arief Darmawan, pakar psikologi digital dari Universitas Indonesia, fenomena ini mencerminkan “kebutuhan instan masyarakat akan validasi kreatif.” Ia menjelaskan bahwa banyak orang merasa harus ikut serta agar tak dianggap tertinggal, baik dari sisi tren maupun eksistensi digital. “Saat melihat teman atau figur publik memamerkan gambar AI mereka, muncul tekanan batin untuk ikut tampil. Itulah bentuk FOMO digital masa kini.”

Lebih dari sekadar teknologi, image generator ini menjadi simbol status baru dalam ekosistem internet. Siapa yang bisa memanfaatkan fitur ini lebih cepat, lebih unik, dan lebih estetik, akan lebih menonjol di jagat maya. Ini tak ubahnya seperti tren filter wajah beberapa tahun lalu atau tantangan TikTok yang viral—bedanya, kali ini didorong oleh kecanggihan AI yang terasa semakin mendekati magis.

Media sosial tentu menjadi katalis utama dalam mempercepat penyebaran tren ini. Dalam waktu singkat, tagar seperti #AIGen, #ChatGPTDraws, atau #PromptArt membanjiri Twitter, Instagram, dan TikTok. Bahkan, beberapa seniman digital mulai merasa ‘terancam’ karena karya mereka kini harus bersaing dengan mesin yang tidak pernah lelah dan bisa menciptakan 10 karya dalam waktu yang dibutuhkan manusia untuk membuat satu sketsa.

Di tengah gegap gempita, ada suara kritis yang mulai muncul. Beberapa kalangan menilai image generator AI sebagai bentuk banalitas ekspresi, di mana kreativitas direduksi menjadi kecepatan dan kuantitas. “Membuat karya seni seharusnya melalui proses, rasa, dan makna. Bukan hanya urusan kecepatan hasil dan likes,” ujar Rina Kusuma, seniman ilustrasi asal Bandung yang kini menginisiasi gerakan #PauseForArt di Instagram.

Meski begitu, tak bisa dipungkiri bahwa fitur ini membuka peluang luar biasa. Banyak pengguna dari kalangan pelajar, pekerja kreatif pemula, hingga pelaku UMKM mulai menggunakan image generator untuk membuat konten promosi, storyboard, bahkan ilustrasi buku anak. Di sisi lain, platform seperti Canva dan Adobe mulai membuka integrasi dengan AI agar tak tertinggal dalam kompetisi.

Menurut data internal OpenAI, dalam 24 jam pertama peluncurannya, lebih dari 30 juta gambar berhasil dibuat oleh pengguna dari seluruh dunia. Ini menjadi tonggak sejarah baru bagi teknologi generatif visual dan sekaligus menandai perubahan perilaku pengguna internet yang makin visual-oriented.

Masyarakat kini tak hanya ingin ‘membaca’ atau ‘mendengar’—mereka ingin melihat, merasakan, dan membagikan sesuatu yang langsung mengena secara visual. Di sinilah letak kekuatan image generator ChatGPT yang baru ini: menyatukan kecepatan AI, estetika visual, dan hasrat manusia untuk diakui.

Ilustrasi yang menggambarkan seorang remaja duduk di depan laptop dengan wajah antusias, dikelilingi kilatan layar yang menampilkan berbagai gambar AI bergaya Ghibli, cyberpunk, dan klasik Eropa, bisa menjadi gambaran nyata dari euforia digital ini. Di balik senyum lebar itu, barangkali tersimpan kecemasan: apakah aku cukup kreatif? apakah hasilku akan disukai? apakah aku akan tertinggal jika tidak ikut membuat gambar juga?

Inilah paradoks FOMO era visual. Kita haus untuk dilihat, tapi sering lupa untuk meresapi. Teknologi bisa menciptakan gambar yang indah, namun hanya manusia yang bisa memberi makna di baliknya.

Dengan semua perkembangan ini, kita perlu menanyakan kembali pada diri kita sendiri: apakah kita menggunakan teknologi, atau justru sedang dikendalikan olehnya? Karena di tengah derasnya arus visual digital, makna dan refleksi tetap jadi hal yang tak boleh tertinggal.

“Kreativitas kini bukan hanya tentang ide, tapi juga siapa yang lebih cepat dan lebih viral. Kita hidup di era kecepatan, bukan kedalaman.” — Dr. Arief Darmawan, Psikolog Digital UI

 

Penikmat Teh Tawar dan Petualang di Waktu Senggang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like
Login Pakai Google atau Facebook, Praktis atau Berisiko? Ini Fakta yang Perlu Kamu Tahu!

Login Pakai Google atau Facebook, Praktis atau Berisiko? Ini Fakta yang Perlu Kamu Tahu!

Segini Kecepatan Jaringan 10G China Dibanding Rata-rata Internet Dunia

Segini Kecepatan Jaringan 10G China Dibanding Rata-rata Internet Dunia

Jangan Bilang “Tolong” dan “Terima Kasih” ke ChatGPT – Ini Alasannya!

Jangan Bilang “Tolong” dan “Terima Kasih” ke ChatGPT – Ini Alasannya!

iPhone Cepat Ngedrop? Ini Penyebab Battery Health Turun Diam-diam

iPhone Cepat Ngedrop? Ini Penyebab Battery Health Turun Diam-diam

“Adolescence” dan Sisi Gelap Media Sosial: Ketika Dunia Maya Menjadi Cermin Luka Remaja

“Adolescence” dan Sisi Gelap Media Sosial: Ketika Dunia Maya Menjadi Cermin Luka Remaja

Bahaya Laten Kecanduan Gadget bagi Remaja: Saat Dunia Nyata Mulai Terlupakan

Bahaya Laten Kecanduan Gadget bagi Remaja: Saat Dunia Nyata Mulai Terlupakan