“Adolescence” dan Sisi Gelap Media Sosial: Ketika Dunia Maya Menjadi Cermin Luka Remaja

Di era digital seperti sekarang, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, terutama bagi remaja. Platform seperti Instagram, TikTok, dan X (Twitter) bukan hanya menjadi ruang berbagi momen, tetapi juga arena pembentukan identitas, pencarian pengakuan, dan interaksi sosial yang intens. Namun, tak sedikit yang menyadari bahwa di balik senyum yang terpampang di foto-foto, tersimpan luka, tekanan, dan kecemasan yang tidak terlihat. Film dokumenter “Adolescence” hadir sebagai kaca pembesar yang mengungkap sisi gelap dari realitas ini, memperlihatkan betapa media sosial mampu menjadi pedang bermata dua bagi perkembangan jiwa remaja.

“Adolescence” bukan film fiksi. Ia menyuguhkan kenyataan pahit yang selama ini kerap tertutupi filter dan algoritma. Dalam film ini, penonton diajak menyelami kehidupan para remaja yang begitu terikat dengan dunia maya. Dari layar ponsel yang tak pernah lepas dari genggaman, hingga kecemasan akan jumlah likes dan komentar yang menjadi tolok ukur kebahagiaan. Dalam keseharian mereka, media sosial bukan lagi pelengkap, melainkan pusat gravitasi yang menentukan suasana hati, citra diri, dan bahkan hubungan sosial.

Ilustrasi yang menyertai film ini menggambarkan ironi yang mencolok: seorang remaja duduk sendiri di kamar gelap, dikelilingi poster motivasi dan pelajaran, tetapi wajahnya hanya diterangi cahaya dari layar smartphone. Di layar itu, ia tersenyum, namun di dunia nyata, air matanya jatuh perlahan. Momen ini bukan hanya simbolik, melainkan representasi dari realitas yang dialami jutaan remaja hari ini.

Menurut Dr. Sherry Turkle, profesor di MIT dan penulis buku “Reclaiming Conversation”, keterhubungan digital yang intens justru menggerus kemampuan remaja untuk menjalin hubungan yang autentik. Ia mengatakan, “Remaja kini lebih banyak berbicara lewat teks daripada tatap muka. Akibatnya, mereka kehilangan kemampuan untuk memahami isyarat emosional, empati, dan resolusi konflik.” Dalam konteks ini, media sosial menjelma menjadi ruang yang memfasilitasi interaksi tanpa kedekatan emosional yang sesungguhnya.

Lebih lanjut, film ini juga menyoroti tekanan sosial yang dihadirkan media sosial. Penampilan, gaya hidup, hingga pencapaian yang ditampilkan secara berlebihan membuat remaja merasa tertinggal, tidak cukup keren, atau tidak berharga. Mereka hidup dalam bayang-bayang ekspektasi digital yang terus menerus menekan. Akibatnya, muncul gejala kecemasan, depresi, dan isolasi sosial yang semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Data dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) pada tahun 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 40% remaja di Amerika Serikat mengalami rasa putus asa dan kesepian yang mendalam, dan salah satu pemicunya adalah tekanan dari media sosial. Fenomena ini tidak hanya terjadi di barat, tetapi juga merambah Indonesia dan negara-negara lain yang mengalami digitalisasi masif.

“Adolescence” bukan hanya mengajak penonton untuk prihatin, tetapi juga untuk bertindak. Film ini menjadi panggilan untuk orang tua, pendidik, dan pembuat kebijakan agar lebih peka dan proaktif dalam membimbing generasi muda menghadapi dunia digital. Kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan teknologi, tetapi kita bisa menciptakan sistem pendukung yang membantu remaja menggunakan teknologi secara sehat.

Dalam wawancaranya bersama NPR, Dr. Jonathan Haidt, psikolog sosial dari New York University, menyebutkan bahwa usia ideal untuk memberikan akses penuh ke media sosial adalah di atas 16 tahun. Ia menekankan pentingnya pendampingan dan pendidikan literasi digital sejak dini agar anak-anak dapat memahami bahwa tidak semua yang mereka lihat di media sosial adalah kenyataan.

Film ini menjadi pengingat bahwa meskipun dunia maya begitu menggoda, dunia nyata tetap lebih bermakna. Hubungan yang dibangun lewat tatapan mata, pelukan, atau obrolan panjang tidak bisa digantikan oleh emoji atau DM. Oleh karena itu, kita sebagai orang dewasa perlu membuka ruang dialog, menciptakan lingkungan yang aman untuk remaja mengekspresikan diri, dan membantu mereka membedakan antara validasi digital dan penghargaan diri yang sejati.

“Adolescence” adalah refleksi zaman. Sebuah karya yang menelanjangi sisi gelap yang sering ditutup dengan filter estetik. Ia menyadarkan kita bahwa di balik unggahan yang tampak sempurna, ada anak-anak yang berjuang melawan kesepian, tekanan, dan pencarian jati diri. Sudah saatnya kita berhenti sekadar menggulir layar, dan mulai menyentuh hati mereka.

Ilustrasi penutup dapat menggambarkan dua dunia yang bertabrakan: di satu sisi, dunia maya yang penuh warna, emoji, dan notifikasi; di sisi lain, dunia nyata yang sunyi, penuh harapan, namun mulai kehilangan tempat. Di tengah-tengah, seorang remaja berdiri ragu—antara mengikuti cahaya layar, atau mencari cahaya matahari yang sesungguhnya.

Karena pada akhirnya, generasi masa depan tidak hanya membutuhkan koneksi internet yang cepat, tapi juga koneksi hati yang kuat. Dan itulah tugas kita bersama: menjembatani jurang antara dunia digital dan kehidupan nyata agar mereka tidak hanya tumbuh sebagai pengguna, tetapi juga sebagai manusia yang utuh.

 

Tagged with:
media sosial

Penikmat Teh Tawar dan Petualang di Waktu Senggang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like
Login Pakai Google atau Facebook, Praktis atau Berisiko? Ini Fakta yang Perlu Kamu Tahu!

Login Pakai Google atau Facebook, Praktis atau Berisiko? Ini Fakta yang Perlu Kamu Tahu!

Segini Kecepatan Jaringan 10G China Dibanding Rata-rata Internet Dunia

Segini Kecepatan Jaringan 10G China Dibanding Rata-rata Internet Dunia

Jangan Bilang “Tolong” dan “Terima Kasih” ke ChatGPT – Ini Alasannya!

Jangan Bilang “Tolong” dan “Terima Kasih” ke ChatGPT – Ini Alasannya!

iPhone Cepat Ngedrop? Ini Penyebab Battery Health Turun Diam-diam

iPhone Cepat Ngedrop? Ini Penyebab Battery Health Turun Diam-diam

Ketika Imajinasi Visual Menjadi Ajang Rebutan Digital

Ketika Imajinasi Visual Menjadi Ajang Rebutan Digital

Bahaya Laten Kecanduan Gadget bagi Remaja: Saat Dunia Nyata Mulai Terlupakan

Bahaya Laten Kecanduan Gadget bagi Remaja: Saat Dunia Nyata Mulai Terlupakan