Belakangan ini, internet dipenuhi dengan hasil karya visual yang menakjubkan: potret kota-kota, wajah manusia, hingga kehidupan sehari-hari yang ditampilkan dalam gaya Studio Ghibli. Bukan oleh tangan animator Jepang, melainkan oleh AI, khususnya ChatGPT dan rekan-rekannya di ranah teknologi kecerdasan buatan. Kombinasi dari teknologi generatif seperti DALL·E dan kemampuan naratif ChatGPT menciptakan ledakan tren baru di media sosial: membuat dunia nyata terasa seperti bagian dari dongeng Hayao Miyazaki.
Namun di balik keindahan visual itu, muncul fenomena lain yang tak kalah kuat: FOMO alias Fear of Missing Out. Banyak pengguna merasa tertinggal jika tidak ikut membuat atau membagikan hasil “karya Ghibli” versi AI mereka. Platform seperti TikTok, Instagram, dan X (dulu Twitter) dibanjiri konten bertema Ghibli yang dihasilkan dari prompt sederhana. Semakin banyak yang membuat, semakin besar tekanan sosial untuk ikut serta. Seolah-olah, jika kamu tidak membuat versi Ghibli dari kampung halamanmu, maka kamu tidak relevan.
FOMO ini tidak hanya menciptakan dorongan kreatif, tapi juga kecemasan. Beberapa pengguna merasa cemas karena tidak memiliki perangkat yang cukup kuat, tidak paham cara menggunakan tools AI, atau takut karyanya tidak sebagus yang lain. Di sinilah ironi digital bekerja: teknologi yang seharusnya memudahkan dan memberdayakan, justru bisa menciptakan tekanan baru bagi mental manusia.
Apalagi ketika hasil akhirnya tidak hanya soal visual, tapi juga menyentuh ranah identitas dan eksistensi digital. Orang-orang berlomba menampilkan versi paling estetik dari kehidupan mereka, dibungkus dengan nostalgia dan keajaiban khas Ghibli. Ini bukan hanya soal visual, tapi juga soal validasi sosial. Like, share, dan komentar menjadi penentu apakah imajinasi seseorang cukup layak untuk diapresiasi secara massal.
Yang menarik, tren ini juga menunjukkan betapa besar pengaruh budaya Jepang dan gaya bercerita Studio Ghibli terhadap generasi digital saat ini. Mereka tumbuh bersama Totoro, Spirited Away, dan Howl’s Moving Castle, dan kini bisa menghidupkan kembali nuansa itu lewat teknologi. Namun, di saat yang sama, ada garis tipis antara apresiasi dan ilusi.
Ketika semua orang sibuk menciptakan dunia Ghibli versi mereka, kita perlu bertanya: apakah kita benar-benar menikmati proses kreatifnya, atau hanya takut ketinggalan tren yang viral?
Fenomena ini menjadi cerminan zaman, di mana teknologi dan budaya pop berbaur dalam satu layar smartphone. Dalam satu klik, kamu bisa masuk ke dunia mimpi. Tapi jangan lupa, dunia nyata pun butuh dihargai.
Mungkin inilah saatnya untuk berhenti sejenak, menyadari bahwa keindahan tidak selalu harus viral, dan bahwa tidak apa-apa jika kamu tidak ikut-ikutan. Karena di balik setiap frame Ghibli buatan AI, ada ruang untuk refleksi: tentang siapa kita, apa yang kita cari, dan mengapa kita merasa harus selalu menjadi bagian dari sesuatu.