Pelumrahan Kembali terjadi, di Era digital sekarang data menjadi aset yang sangat berharga banyak negara yang memiliki kontrol terhadap negaranya. Mengutip dari tulisan Herlambang P. Wiratraman yang di terbitkan oleh Kompas.id “Persoalan paling mendasar dalam penegakan hukum yang tidak pernah selesai adalah impunitas tak lagi bisa dibaca sebagai persoalan formal prosedur hukum yang sekadar menempatkan penegak hukum tak profesional, tak punya cukup kapasitas, atau nir etika. Melainkan, bekerjanya politik kekuasaan yang memang menguat keuntungan dalam struktur politik elite kekuasaan. Artinya, impunitas menjadi problem yang sistematik dan penuh kendali kekuasaan.
Belakangan, lapisan pengungkapan dan pertanggungjawaban atas kasus-kasus pelanggaran hukum dan hak asasi manusia kian bertambah ketebalan masalahnya akibat pemanipulasian hukum dalam kebijakan, aturan, dan penegakan hukumnya. Pemanipulasian ini bekerja dari proses yang tentu bukan asal atau serabutan, melainkan terorganisasi rapi dengan pemanfaatan strategi dan teknologi digital, utamanya serangan siber.”
Serangan ransomware terhadap Pusat Data Nasional (PDN) adalah peringatan keras yang mengungkapkan kerentanan serius dalam sistem keamanan siber pemerintah. Insiden ini telah menyebabkan gangguan layanan publik di 210 instansi pemerintah, menunjukkan betapa vitalnya peran PDN dalam mendukung operasional berbagai lembaga negara.
Pertama, serangan ini mencerminkan kurangnya perhatian dan prioritas terhadap keamanan siber dari pemerintah. Dalam beberapa tahun terakhir, serangan siber telah meningkat secara signifikan, namun langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah belum memadai untuk melindungi data penting negara dan warganya.
Kedua, insiden ini merupakan bukti kegagalan sistemik dalam membangun budaya keamanan digital yang kuat. Menkominfo harus bertanggung jawab atas kejadian ini dan menunjukkan bahwa ada konsekuensi bagi kegagalan melindungi data publik. Tanpa akuntabilitas, akan sulit untuk memotivasi perbaikan yang diperlukan dalam sistem keamanan siber.
Ketiga, perlindungan data pribadi adalah hak dasar warga negara yang harus dijamin oleh pemerintah. Kejadian ini menunjukkan bahwa perlindungan data pribadi masih belum menjadi prioritas utama, dan ini harus segera diubah. Langkah-langkah konkret harus diambil untuk memastikan bahwa data pribadi ratusan juta penduduk tidak lagi rentan terhadap peretasan.
Pada tahun 2014 Menteri Imigrasi Inggirs Mark Happer mundur dari jabatannya setelah karena diketeahui seorang asisten rumah tangganya adalah imigran illegal, sebagai orang yang menjabat sebagai pimpinan di instansi pemerintahan dibidang imigrasi, dia merasa malu.
Sehingga ketika fakta tersebut terungkap ke publik ia langsung mengundurkan diri, di tahun 2023 lalu 4 Menteri di Jepang mengundurkan diri akibat kasus korupsi. Sebenarnya masih banyak kasus-kasus yang melibatkan pimpinan instasi di berbagai negara yang Menteri atau pemimpinnya mundur, karena kesalahan fatal atau tidak memenuhi janji politiknya
Tapi ini tidak berlaku di Indonesia, kenapa? menurut Ferry Irwandi karena mereka masih punya 3 hal yakni kehormatan, harga diri, dan malu, sedangkan Pejabat di Indonesia memiliki mentalitas yang lebih hebat.
Karena mampu menghilangkan 3 aspek dasar yang wajib dimiliki manusia tadi, jadi ketika mereka membuat kesalalahan fatal atau keteledoran yang berdampak buruk bagi masyarakat mereka masih merasa pantas untuk menjabat.
Salah satunya Menteri yang saat ini sedang ramai diperbincangkan, yakni Budi Arie Setiadi Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Akibat dari serangan Hacker ke Pusat Data Nasional (PDN) Kominfo dianggap tidak mampu dan kompeten, dalam menangani masalah serangan Siber yang dampaknya sangat besar terhadap masyarakat dan negara.
Ini efek dari Politik Balas Budi, dimana keputusan Presiden Joko Widodo dalam menunjuk Budi Arie Setiadi sebagai Menteri komunikasi dan informatika tanpa mempertimbangkan aspek kepakaran. Dan respon pemerintah terkait kebocoran pusat data nasional sangat mengecewakan dan memalukan bahkan terkesan main main. Misalnya, Pemerintah mengeluarkan pernyataan yang sangat tidak serius seperti menyarankan hacker untuk tidak menyerang Indonesia dan membandingkan dengan kasus-kasus ransomware yang terjadi di negara lain, seolah-olah itu hal yang wajar sehingga menjadi pelumrahan dan menormalisasi.
Publik Kembali dipertontonkan betapa bodohnya orang yang bekerja di kementrian saat rapat Bersama komisi 1 DPR RI (27/6/24) salah satu pejabat Kominfo mengatakan bahwa semua data-data itu tidak memiliki backup. Tanggapan ini menunjukkan bahwa pemerintah hanya menganggap data pribadi sebagai aset, bukan hak dan martabat yang melekat terhadap individu yang harus dilindungi.